MERAPI SEBAGAI SUATU RALITAS YANG SAKRAL DALAM BUDAYA MASYARAKAT JAWA KUNO


Gunung merapi adalah salah satu gunung yang berada di Pulau Jawa, tepatnya di sebelah utara ProvinsYogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Badan Geologi dan kegunungapian menyebutkan bahwa gunung merapi di Yogyakarta menyandang predikat gunung merapi yang teraktif di dunia. Pada akhir tahun 2010, gunung merapi telah mengeluarkan seluruh isi perutnya. Tercatat bahwa letusan terakhir ini adalah letusan yang paling terbesar sepanjang sejarah satu abad terakhir ini (140 tahun terahir ini). Akan tetapi memang hampir pada setiap 4 sampai 5 tahun gunung merapi mengeluarkan erupsinya.
Hal yang sangat tidak mengherankan di tanah Jawa ini apabila kita berbicara tentang gunung merapi yang disangkut pautkan dengan suatu kemistikan di dalam sepanjang sejarahnya. Kebudayaan asli pada masyarkat Jawa adalah bersifat transendental, yaitu lebih cenderung pada paham animisme dan dinamisme. Perubahan kebudayaan pada masyrakat jawa benar-benar terjadi ketika setelah masuknya agama hindhu budha yang berasal dari Indhia. Kebudayaan Indhia yang secara riil mempengaruhi dan mewarnai kebudayaan Jawa seperti sistem kepercayaan (Budha Mahayana).[1] Walaupun kepercayaan jawa kuno sudah beralih dari kepercayaan animisme dan dinamisme menjadi Hindhu Budha, kepercayaan yang dahulu (animisme dan dinamisme) masih tetap ada dan tidak hilang sepenuhnya. Apabila kita melihat agama Hindhu atau Budha, dalam kepercayaannya juga masih kental dengan hal-hal yang bersifat transendental.
            Berbicara mengenai gunung merapi dan kemistikaannya tidak lepas bigitu saja dengan sejarah dan banyak studi tentang kepercayaan (agama) tidak terlepas mempelajari masa lalu, yaitu sejarah.[2] Sejarah gunung merapi di jawa dimulai sejak studi sejarah Jawa Kuno yang secara tertulis dimulai tanggal 25 Maret 804, dengan ditemukannya Prasasti Sukabumi yang berbunyi: Pada tahun 726 penanggalan caka, dalam bulan citra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari hanyang atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, wage atau hari keempat dalam minggu berhari lima, saniscaraatau hari ketuju dalam minggu yang berhari tujuh.[3] Apabila kita membahas mengenai gunung merapi yang keberadaannya di utara Yogyakarta maka kita harus juga berbicara mengenai kekuasaan yang memegang tanah Jawa, yaitu Kerajaan Majapahit, yang dipimpin terkhir kali oleh Prabu Brawijaya (Singhawikrama Wardana).
            Gunung merapi sangat dihomati dan dikeramatkan bahkan dijadikan totem utara bagi masyrakat Jawa khususnya Yogyakarta. Sejak dari raja-raja dahulu gunung merapi mendapatka suatu kehormatan dari kerajaan Yogyakarta sebagai perwakilan masyarakat Yogyakarta. Setiap tahunnya ada upacara labuhan atau pekelem ke kawah merapi yang dipimpin oleh seorang kuncen gunung merapi yang diberi mandat langsung oleh raja dari Keraton Yogyakarta pada saat ini.
Gunung merapi dipercayai oleh banyak orang khususnya masyarakat Yogyakarta sebagai tempat bersemayamnya kyai petruk yang di motologi pewayangan jawa merupakan putra dari kyai semar. Apalagi adanya beberapa ramalan yang menyangkut tentang gunung merapi banyak dibicarakan, salah satu ramalan yang paling terkenal adalah ramalan kembalinya sang sabdo palon atau sering disebut juga dengan istilah sang sabdo palon menagih janji. Dipercaya sang sabdo palon akan kembali bila dengan ditandai letusan dahsyat merapi. Oleh beberapa tulisan disebut sang sabdo palon adalah adalah kyai semar.
Dan kalau menurut sejarah sang sabdo palon disebut adalah seorang penasehat spiritual Prabu Brawijaya, raja terakhir Kerajan Majapahit. Menurut cerita sejarah, ketika Prabu Barawijaya di hadapan Sunan Kalijaga menyatakan diri memeluk agama Islam, beliau mengajak penasehat spiritual untuk ikut masuk islam. Pada waktu itu setelah penasehat spiritual Prabu Barwijaya mendengar hal itu, dia marah tak terkendali. Dia bersumpah serapah akan kembali ke habitatnya (menjadi danyang/ numinous) dan akan membuat gangguan di Tanah Jawa dengan berbagai bentuk bencana alam, musibah, dan wabah penyakit sehingga hidup  menjadi sengsara dan menderita. Penasehat spiritual beliau berpesan kepada Prabu Brawijaya bahwa beliau akan kembali setelah 500 tahun kemudian. Isi dari pesan penasehat spritual Prabu Brawijaya adalah ”Sebagai pertanda kebenaran kata-kata hamba ini dapat Paduka saksikan ketika Gunung Merapi meletus", pesan tersebut menjadi simbol bahwa Sabdo Palon telah kembali.[4]
Di atas adalah suatu cerita singkat dari kesakralan sejarah merapi yang tetap dijaga kesakralan dan cerita tersebut oleh kebanyakan masyarakat yogyakarta. Hal itu bukan menjadi hal yang aneh lagi dalam masyarakat sekitar karena tersebut sudah menjadi kepercayaan, budaya, dan tradisi yang mungkin sebagian orang tidak boleh begitu saja diremehkan bahkan di tinggalkan. Budaya yang seperti itu adalah budaya yang menjadi karakter dari suatu kelompok tertentu yang membedakan kearifan lokal dari suatu kelompok.

ULASAN
            Ulasan atau biasa disebut dengan pembahasan, maka dalam sub-bab ini penulis mencoba mengulas suatu fenomena atau realitas yang benar-benar terjadi dan nyata di suatu masyarakat bahkan sudah membentuk suatu budaya yang kuat. Kali ini penulis lebih menekankan fenomena yang sakral dalam sisi agama. Apabila merujuk konsep yang dirumuskan oleh Emile Durkheim tentang kesakralan adalah isi atau bentuk dari suatu ketauhidan pada yang atas (Tuhan). Menjadi sangat klik dan sambung apabila merujuk pada pemikiran C. Kluckhohn dalam Universal categories of Culture (1953) yang mengatakan bahwa agama adalah salah satu dari tujuh unsur budaya yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia.[5]
            Seseorang mungkin banyak yang terikat oleh suatu sejarah (setiap waktu dan tempat adalah berbeda) tetapi ada satu yang kekal di dalamnya, yaitu dalil-dalil yang tidak terikat oleh waktu dan hal ini pula menjadi konsep yang sama pada agama.[6] Konsep ini lah yang dapat menerangkan kondisi masyarakat yang mensakralkan gunung merapi di Yogyakarta. Walaupun sejarah tentang merapi telah lama, akan tetapi dalil-dalil tentang sejarah tersebut yang masih kuat kesakralannya. Itu lah yang menjadikan masyarkat di dunia modern (positivistik) seperti saat ini masih saja ada orang yang berpikiran kuat tentang hal-hal yang bersifat teologis purba (kepercayaan akan hal-hal yang supranatural dan benda-banda alam). Padahal dalam perkembangan hukum tiga tahap masa sekarang adalah masa positivis (mengagungkan akal pikiran).[7]
            Dalam teorinya Mircea Eliade yang mengadopsi pemikiran E. Durkheim, mengatakan bahwa orang yang masih berpikiran teologis termasuk golongan orang purba (archaic pople) yang dalam kehidupanya didasarkan atas dua bidang: sakral dan profan. Profan adalah arena urusan manusia yang dapat berubah-ubah (horizontal), dan sakral adalah wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, dan dewa (vertikal).[8] Masyarakat Yogyakarta dalam hal ini mampu memberi batasan-batasan yang baik dalam kehidupanya. Mereka mampu dalam kehidupan sosial bermasyarakat tidak seperti orang purba, mereka mengikuti modernitas dalam banyak hal-hal seperti mata pencaharian, style, dan pendidikan. Akan tetapi secara vertikal mereka masih percaya pada hal-hal yang supranatural dan sakral, yang melebur menjadi satu pada keyakinan yang mereka anut. Apabila melihat secara visual mereka percaya pada gunung merapi yang sakral dan supranatural yang diperoleh pada kebudayaan lokal tetapi dia juga percaya pada agama islam yang mereka anut. Kepercayaan pada merapi hanyalah suatu tradisi atau budaya yang melebur menjadi satu dalam ritual keislaman mereka.
            Ide tentang yang sakral ini adalah lebih dari sekedar yang umum; ia dianggap sangat penting bagi keberadaan mereka, betul-betul membentuk setiap aspek kehidupan mereka. Bahkan mereka menyebutnya ketika mereka mengingat sesuatu yang begitu dasar seperti waktu dari hari atau tempat di mana mereka hidup. Bahkan dapat dilihat bahwa sebuah desa harus dibangun di atas sebuah tempat di mana telah ada suatu ’hierofani’ (penampakan yang sakral). Gunung merapi bisa dikatakan sebagai totem yang dipercayai oleh masyarakat Yogyakarta sebagai hal yang di hormati dan dipercayai. Sehingga dalam suatu kebudayaan menjadi suatu pusat kebudayaan masyarakat yogyakarta. Secara filosofis kebudayaan pusat menggambarkan sebuah pilar utama sebuah objek vertikal yang menancap ketanah menghadap kelangit untuk meyatukan tiga wilaya alam yang besar: langit, bumi, dan alam bawah tanah (neraka). Pusat kebudayaan biasanya disimbolkan  dengan wujud sebuah pohon besar ataupun gunung.[9] Sehingga menjadi yang tidak heran apabila kerajaan-kerajaan kuno banyak yang didirikan tidak jauh dari pusat kebudayaan (axis mundi). Hal itu bisa dilihat keraton yogyakarta yang seperti sekarang ini sangat menghormati keberadaan gunung merapi dan kerajaan mataram yang sebelum pindah ke Jawa Timur.
               Pada saat ketika gunung merapi bererupsi pada akhir 2010, fenomena tentang kyai petru sering dibahas, apalagi setelah munculnya foto awan panas yang menyerupai wajah kyai petruk dengan ciri khas berhidung panjang. Beberapa kejadian alam yang dihubung-hubungkan dengan mitos merapi sebagai gunung yang menyimpan berbagai misteri diantaranya:
1.      Awan Petruk
Awan petruk merupakan salah satu mitos yang berkembang di masyarakat sekitar gunung merapi. Awan petruk gunung merapi ini tidak sembarangan keluar, menurut keyakinan masyarakat merapi awan ini keluar sebagai tanda bahwa gunung merapi akan meletus dengan kekuatan yang lebih besar.
2.      Adanya Keyakinan Kraton Mistik Jawa
Masyarakat jawa khususnya daerah merapi meyakini bahwa dahulu kala daerah gunung merapi merupakan tempat atau kerajaan makhluk halus di sana tempat berkumpulnya makhluk-makhluk halus dengan kesaktian yang tinggi. Makhluk halus bisa disimbolkan dengan api dan api mistik yang menguasai gunung merapi adalah dari trah Mataram. Dimana trah ini bersama dengan trah Majapahit yang ada di gunung Lawu merupakan perusak diantara gunung-gunung yang lain.
Bagi pikiran purba, dunia yang fisik adalah benar-benar sebuah rumah gudang yang berisikan gambaran, petujuk tanda, dan analogi yang prospektif. Semua yang kita lihat di dunia adalah bagian dari kerangka besar yang diciptakan oleh para dewa dipermulaan zaman, dan di manapun di dalamnya, yang sakral menanti untuk bersinar.[10] Dengan tanda-tanda atau gambaran yang telah diperlihatkan oleh tuhan adalah wujud suatu pertanda yang telah di dibuat oleh kesepakatan manusia dengan kehendak tuhan.  
             


[1] Purwadi dan Djoko Dwiyanto. 2009. Filsafat Jawa: Ajaran Hidup yang Berdasarkan Nilai kebijaksanaan. Yogyakarta: panji Pustaka. Halaman 19.
[2] Daniel L. Pals. 1996. Seven Theories Of Religion: Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C. Geertz. Penerjemah: Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam. Halaman 272.
[3] Ibid., Halaman 24-25.
[4] Eman. 2010. Memandang Fenomena Mistis Merapi dari Perspektif Agama. (Online). (http:// suarapembaca.detik.com/read/2010/11/05/095717/1486692/471/memandang-fenomena-mistis-merapi-dari-perspektif-agama. Diakses 22 Maret 2011).
[5] Koentjaraningrat. 2002. Pengatar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Halaman 203.
[6] Daniel L. Pals, op. cit., Halaman 273.
[7] Doyle Paule Johnson. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Penerjemah Robert M. Z. Lawang. Jakarta: PT. Gramedia. Halaman: 84-86.
[8] Daniel L. Pals, op. cit., Halaman 275.
[9] Ibid., Halaman 278-280. 
[10] Ibid., Halaman 287.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2010 • Ida Latiful Ummah FR-093224011 • Design by Dzignine